Jargon Indah Untuk Agenda Busuk
1 Oktober 2009 16:18:05
Oleh: Agus Maftuh Abegebriel
Judul di atas adalah terjemah bebas dari statemen Khalifah Ali bin Abu Thalib ketika menghadapi demonstran yang menuntut penerapan hukum Allah “La hukma illa lillah” (Tidak ada hukum kecuali hukum Allah) dan menolak putusan hukum Ali karena dinilai sebagai produk manusia. Demonstrasi tuntutan penerapan hukum Allah atau Islamic Law Enforcement (Tathbîqus syari’ah) dijawab Ali dengan pernyataan “Kalimatu haqqin yurâdu bihâ bâthilun” (kata indah tetapi dengan tujuan yang sesat).
Warning Sahabat Ali yang ditulis oleh Imam Muslim dalam Kitab Sahihnya tersebut juga bisa ditemukan dalam khazanah keilmuan Islam. Salah satunya adalah ensiklopedi hadis berjudul “Kanzul ummâl fi sunanil aqwâl wal af’âl” karya Alaudin al-Hindy dengan penambahan statemen bahwa para demonstran yang mengusung jargon indah tersebut adalah para “pengkhianat besar” (al-Khayyânun).
Statemen pemuda yang pertama kali masuk Islam ini, merupakan sikap membangun kewaspadaan agar umat Islam tidak terjebak dengan slogan-slogan yang nampaknya “indah” namun dijadikan alat untuk menebarkan tindak kekerasan. Ali memperingatkan: jangan melakukan kejahatan kemanusiaan dengan bungkus “Atas Nama Tuhan”. Akhirnya sejarah juga mencatat bahwa Ali terbunuh oleh para demonstran dengan mengatasnamakan “penerapan Ayat Tuhan”.
Fenomena merebaknya jargon “Isy Kariman au Mut Syahidan” (Hidup mulia atau mati syahid) juga perlu dicermati secara kritis. Penulis selama 28 tahun belajar studi Al-Qur’an dan Al-Hadis sejak di pesantren sampai sekarang mengampu mata kuliah tersebut, tidak pernah menjumpai redaksi tersebut dalam kitab-kitab standar keilmuan. Secara akademis statemen ini tidak perlu dianalisa, ditafsirkan apalagi diuji kesahihannya, karena statemen ini bukanlah teks suci keagamaan, bukan perkataan Sahabat Nabi dan hanya muncul dalam selebaran-selebaran pendorong mati syahid untuk Dying for Win. Doktrin tersebut juga tidak jelas siapa yang pertama kali mengucapkannya, dan tidaklah salah kalau penulis menyimpulkan bahwa slogan tersebut sangat tidak akademis.
Memang ada statemen klasik yang mirip dengan jargon tersebut, yaitu “Isy Kariman wa Mut Kariman” (hiduplah sebagai orang yang mulia dan matilah juga sebagai orang yang mulia) yang diucapkan Asma’ binti Abu Bakar kepada anaknya, Abdullah bin Zubair. Secara epistemologis, statemen ini dapat didiskusikan dan dianalisa latar belakang historis dan sosiologisnya. Pesan Seorang Ibu tersebut bisa dibaca dalam karya-karya sejarah klasik seperti Tarikh Dimisyqa karya Ibnu Asakir dan juga Tahzîb al-Asma’ wa al-Lughat karya Al-Imam Muhyiddin an-Nawawi yang penulis pernah menziarahi makamnya di ‘Nawa”, selatan kota Damaskus Syria.
Pesan Asma’ ini sangat berbeda dengan jargon “Isy Kariman au Mut Syahidan” baik redaksional maupun setting sejarahnya. Pesan Asma’ mengarah kepada tujuan hidup mulia dan mati juga mulia tanpa adanya opsi, sementara jargon penambah energi militansi tersebut menggiring orang untuk memilih satu di antara dua opsi yaitu: hidup mulia atau mati syahid dengan pemakaian kata sambung “au” yang menurut gramatikal Arab untuk “takhyîr” (pilihan).
Struggle of Power Abdullah bin Zubair versus Yazid bin Muawiyah inilah yang mendorong Asma’ mengeluarkan pesan penyemangat tersebut kepada anaknya dengan penambahan : Lâ yal’abanna bika shibyânu Bani Umayyah” (Jangan sekali-kali anak-anak Bani Umayyah ini mempermainkan dirimu).
Pada sisi lain, ada Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ahmad: “ilbas jadidan wa Isy Hamidan wa Mut Syahidan” (pakailah baju yang baru, hiduplah yang terpuji dan matilah sebagai syahid). Historisitasnya, Nabi bertemu Ibnu Umar dan bertanya: Bajumu baru atau dilaundry? Ibnu Umar menjawab: Bukan baju baru tapi baju lama yang dilaundry. Akhirnya Nabi mengeluarkan sabdanya tersebut yang menurut Imam As-Sindy merupakan doa untuk Ibnu Umar agar mendapatkan rizki yang banyak, bisa hidup bahagia dan meninggal sebagai syahid.
Jika pernyataan Nabi ini difahami secara kaku (rigid) dan parsial serta dilepaskan dari historisitas isi/matan hadis (tawârikhul mutun), maka para penebar teror akan menjadikan sabda ini sebagai justifikasi tindak kekerasan.
Ketika penulis di Mesir untuk berguru kepada Prof. Hassan Hanafi dan Gamal al-Banna pada tahun 2005, bertepatan dengan pemilu legislatif negeri pyramid tersebut, penulis menyaksikan baliho-baliho besar terpampang di sepanjang jalan kota Kairo. Political Languages, bahasa-bahasa politik yang tertulis di baliho tersebut sangat beragam dan secara khusus penulis memperhatikan banyaknya baliho yang mengatasnamakan agama untuk tujuan politik. Jargon seperti “Al-Islâm huwa al-hall” (Islam adalah solusi), Al-Jihâd Sabilunâ (jihad adalah jalan kami), li Thatbiqis Syari’ah (untuk menegakkan syariah) menjadi menu marketing kekuasaan. Yang lebih vulgar adalah baliho yang mencantumkan lambang Al-Ikhwan al-Muslimun yaitu Gambar Al-Qur’an dengan dua bilah pedang di bawahnya. Sejarah juga mencatat bahwa karya-karya kekerasan di Mesir sering melibatkan para pengusung jargon tersebut, mulai IM (al-Ikhwan al-Muslimun), al-Jama’ah al-Islamiyyah serta Jama’ah al-Jihad.
Slogan kekerasan dengan bungkus agama seperti Al-Islâm huwa al-Qur’an wa as-Saif (Islam adalah al-Qur’an dan pedang), Al-Islâm huwa as-shalât wa al-qitâl(Islam adalah Shalat dan Perang) bisa ditemukan dalam dokumen-dokumen yang menjadi pegangan para teroris. Salah satunya adalah dokumen “highly secret” yang bertitelkan “Durûs Askariyyah fî Jihâd at-Thawâghîth” (Training Militer untuk Memerangi Penguasa thaghut/ tidak memakai hukum Tuhan) setebal 180 halaman dan berisi 18 training pokok untuk para operator Al-Qa’idah.
Cover dokumen tersebut bergambar bola dunia dengan sebilah pedang panjang yang menusuk peta dunia dengan ujungnya berlumuran darah. Di pojok kanan juga tertulis “Silsilah Askariyyah; I’lânul Jihâd ala Thawâghîth al-Bilâd” (Seri Militer: Deklarasi Perang Terhadap Negara-negara thaghut).
Dokumen ini diawali dengan statemen ideologi kekerasan yang merupakan satu-satunya cara untuk menggapai tujuan politik Al-Qa’idah yaitu berdirinya “Islamic Government” di muka bumi. Statemen tsb berbunyi “Pemerintahan Islam tidak pernah dan tidak akan pernah tegak berdiri dengan cara diplomasi damai. Akan tetapi harus dengan pena dan senjata, dengan kata dan peluru. Kami tidak butuh dialog model Plato, Aristoteles dan Socrates. Kami hanya membutuhkan diplomasi mesin perang dan dialog bom”.
Negara Thaghut dalam persepsi Al-Qa’idah dan juga semua jejaring kekerasan termasuk Al-Jama’ah Al-Islamiyyah, adalah semua negara yang tidak memperjuangkan Islamic State dan Khilafah Global meski penduduknya beragama Islam.
Berdasarkan main idea ini, sehari setelah penemuan bahan peledak di Bekasi dan ditemukannya dokumen rencana pembunuhan Presiden SBY, penulis diwawancarai ‘live” oleh stasiun SBS (Special Broadcasting Service) Sydney Australia tentang rencana teroris dalam pembunuhan Presiden SBY. Penulis menjawab, bahwa hal itu sangat dimungkinkan karena SBY adalah seorang Presiden yang selalu membawa Negara Indonesia dalam koridor PANCASILA, dan di mata jejaring penebar teror, Pancasila dan juga sistem demokrasi adalah sesuatu yang najis. Penguasa pendukung Pancasila dan Demokrasi adalah penguasa thaghut yang menurut dokumen Al-Qa’idah tersebut harus diperangi.
Kampanye “Spreading peace for all” dan “jihad untuk kemanusiaan” harus dijadikan prioritas pemerintah NKRI bersama para ulama dan kaum intelektual untuk “Ta’kidul Islâm ka Rahmatin wa Salâmin Lil âlamin fi mujtama’in ta’addudiyyin” (Mempertegas Islam sebagai rahmat dan motor perdamaian bagi seluruh alam dalam bingkai masyarakat yang plural).
Sebuah baliho besar di hotel Hilton, depan Masjidil haram Makkah al-Mukarramah yang penulis saksikan pada penghujung Ramadlan 2004, menjadi inspirasi besar untuk tulisan ini. Baliho tersebut bergambarkan Al-Qur’an dan kitab Hadis yang di bawahnya tertulis pesan indah untuk kemanusiaan “Lâ, lil-Irhâb” (Al-Qur’an dan As-Sunnah bukan untuk menebar teror). Karena realitasnya, terorisme adalah threat of religion (musuh agama) dan sekaligus threat to religion (mengancam agama).
Penulis adalah pengamat ideologi transnasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar