Corruption and Indonesian Culture
Corruption has happened for many years and today it becomes a bad culture in Indonesia for three reasons
Most adult Indonesian or foreigners have known and admitted that corruptions happen in many places. The daily newspapers, news programs on TV and radio have reported corruptions are done everywhere, almost in all departments or public services of this country. Corruptions happen in health, education departments and banks. When we manage to get some documents in public service offices, we usually need much money to pay. Manipulations happen everywhere
The actions to eliminate corruption are weak. The ever stronger culture seems not to come to an end when the responsible institutions who have to reinforce the justice today commit corruption. This is the worst. Corruptions happen in police department, courts where judges, public prosecutors, lawyers make deals to do corruption. All of us also heard in the end of 2004, Probosutejo reported that he had bribed the Supreme Court, or called Mahkamah Agung which becomes the highest level where the justice can be obtained. Perhaps you have to try to come to the local courts and see what happen there. You will see practices of bribery and other kinds of corruption. Therefore, we can say that corruptions becomes our culture. Do you like it?
The citizens have no goodwill to fight against the corruption. They create the situations in which people have opportunities to do corruptions. The citizens like to break the rules because they are not disciplined. For example, in the street when they drive a car or ride motorcycle, they do not have the driving license or necessary documents. Then, they are caught by the local policemen. To avoid more difficulties, they like to bribe the officer. The officer let them go then. In other words, the citizens and officers are the same, doing corruption together. If only the people were critical, disciplined, and obey the rules, and willing to report any wrong behaviors, this country will not be number one corrupting country in the world.
conclusion Based on the reasons, we can conclude that corruption is becoming a bad culture in Indonesia if it is not ended soon by all of us. It seems that there must be more severe penalty for the corruptors. Do we still care about the future of this country?
BLOG INI SAYA BUAT UNTUK MENGAJAK SELURUH RAKYAT INDONESIA MERDEKA LAHIR DAN BATIN DAN INSYA ALLAH SAYA SIAP MENJADI PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT INDONESIA (2049-2054)
Minggu, 15 November 2009
Kamis, 12 November 2009
SINOPSISNYA HANURO MENGENAI ALAM :
Pendahuluan
Disuatu daerah yaitu di Kabupaten Mataram, Provinsi NTB hiduplah sebuah keluarga kecil yng terdiri dari seorang anak perempuan bernama Rani, ayah yang sangat penyayang bernama Pak Lukito, dan seorang ibu yang begitu pengertian. Dengan kemampuan berbicaranya Rani berhasil membujuk ayahnya yang memiliki sebuah pabrik agar membuat abriknya ramah lingkungan untuk menyelamatkan bumi ini dari kiamat yang diperkirakan oleh para ahli sudah semakin dekat.
Disuatu pagi yang tenang Rani tersentak membaca berita disuatu surat kabar, yang kemudian membuatnya teringat pada suatu tanggal yang begitu penting yaitu tanggal 22 April yang diperingati sebagai Hari Bumi, hati Rani semakin terusik ketika tidak ada satupun temannya yang mengetahui moment penyelamatan lingkungan hidup tersebut.
Namun Seorang gurunya yang bernaa Pak Saleh, sang guru Bahasa Indonesia ternyata sangat peduli terhadap keselamatan bumi kita. Melalui pesan-pesan yang beliau sisipkan pada mata palajarannya, beliau mencoba mengajak siswa agar peduli terhadap Lingkungan Hidup, beliau mencontohkan adanya perhatian serius dari Negara Maju seperti diluncurkannya Satellite ERS-2 milik Badan Antariksa Eropa(ESA) yang dikhususkan untuk pemantauan Lapisan Ozon
Pak Saleh kemudian menceritakan adanya himbauan dari Herman Joseph Hack, pada saat berlangsungnya Konferensi Iklim Dunia di Berlin Jerman pada tanggal 28 Maret- 7 April 1995 untuk mematikan lampu sejenak secara serentak pada hari Rabu, 15 April 1995 pukul 18.50 GMT(01.50 WIB). Himbauan ini tentunya amat beralasan karena lampu dapat menambah Kadar 〖CO〗_2 di atmosfer Bumi yang tentunya berdampak buruk bagi Manusia.
Buktinya, banjir telah terjadi dimana-mana termasuk di Eropa, bahkan Belanda dan Perancis tidak berdaya menghadapi banjir besar ini sungai Rhein di Inggris yang telah beberapa decade silam tidak pernah meluap kini harus meluap dan merendam kota-kota di Inggris. Penyebab banjir ini tidak lain dan tidak bukan adalah segala kegiatan Manusia yang menggunakan energy Fossil yang digunakan untuk keperluan rumah tangga, kendaraan dan Industri.
Rani benar-benar peduli lingkungan hidup, setelah mendengarkan pemaparan gurunya ditambah dengan semangatnya yang besar untuk menyelamaykan lingkungan hidup, Rani menceritakan kepada Ayahnya pendapat dari para ilmuan yang menggambarkan bagaimana akan terjadi peningkatan suhu dimuka Bumi dalam tahun 2050, 2090 atau 2175 dengan angka mencapai kisaran 3°C atau 6°C. Rani juga menggambarkan bagaimana perubahan iklim juga sangat mempenagaruhi penurunan ekonomi dunia yaitu pada kisaran 3,6%, 6,1%, atau 10,4%.
Setelah Rani bercerita sang Ayah pun tertarik ikut berbicara, Beliau mengatakan akibat perubahan iklim adalah pengurangan factor prodduksi dan pencairan es yang sangat berdampak buruk bagi umat Manusia. Namun, terjadi pebedaan perkiraan antara para pakar Sosial dengan pakar Ilmu Alam dimana pakar ilmu social memperhitungkan pengaruh perubahan iklim terhadap kehidupan umat Manusia hanya 0,4% sedangkan para ahli Ilmu Alam memperkirakan hingga 12,3%, namun Rani dan Ayahnya sepakat dengan pendapat para pakar Ilmu Alam, karena masalah perubahan iklim tidak dapat diselesaikan dengan cepat dan hanya menggunakan optimisme Manusia.
Dampak perubahan iklim juga merembet pada munculnya penyakit-penyakit seperti Malaria dan Demam Berdarah Dengue, karena suhu Bumi cocok untuk perkembangbiakan nyamuk penyebab penyaki Malaria dan Demam Berdarah ditambah dengan banyaknya genangan air akibat hujan terus-menerus. Penyakit ini sangatlah berbahaya bagaimana seseorang yang terkena satu virus Dengue masih bisa terkena Virus Dengue yang lain, karena ada empat yaitu Virus Dengue 1, Virus Dengue 2, Virus Dengue 3, dan Virus Dengue 4
Semangat Rani terus bekobar untuk menyelamatkan Bumi tercinta, hal ini membuat Rani begitu rajin mengais Ilmu Pengetahuan meskipun hanya dari guntingan Koran, dia membaca dan mengetahui telah terjadi kerusakan Alam diseluruh belahan Bumi penyebabnya antara lain adalah gas rumah kaca dan beberapa gas lain seperti gas Sulfate yang telah ada sejak masa revolusi industri.
Hati Rani semakin gamang, ketika mengetahui adanya fenomena kebakaran hutan hingga jutaan hektar di seluruh belahan Dunia karena adanya Badai El-Nino. Selain itu banjir bandang akibat La-Nina yang terjadi di semua benua menyebabkan banyak manusisa meninggal dan terkena wabah penyakit apalagi kerugian akibat El-Nino tidaklah sedikit, jika diakumulasikan mencapai nilai 17,010 Triliun Rupiah(Republika, Minggu, 2 Juni 1955, hlm.11)
Polusi Lingkungan semakin parah, bagaimana hujan asam terjadi dimana-mana, Indeks mutu udara yang semakin menurun di Meksiko, Jakarta, dan kota-kota besar lain di Dunia, akibat El-Nino yang menyebabkan kebakaran hutan dimana-mana. Polusi bukan hanya polusi udara namun juga polusi suara berupa kebisingan yang lebih dari ambang batas yang dapat di tolerir yaitu lebih dari 70dB yang sangat berbahaya baik secar fisik maupun psikis, diperparah lagi dengan penggunaan AC di gedung-gedung pencakar langit.
Rani terus berusaha mengikis polusi udara untuk menyelamatkan lingkungan terutama oleh pabrik milik Ayahnya, Rani membujuk Ayahnya agar bersedia memasang alat penyaring asap pabrik agar tidak berbahaya.
Rani mendapat pelajaran berharga dari Ayahnya ketika dia memakai parfum yang menurut para ahli akan merusak lapisan Ozon karena mengandung CFC yang dapat menjebol selimut Ozon hingga 15 kilometer. Rani merasa begitu malu ketika sampai diingatkan Ayahnya karena sama sekali tidak mengetahui tentang hal tersebut. Namun ada hal yang membahagiakan hati Rani yaitu adanya satelit pemantau Ozon yaitu ERS-2 yang diharapkan mampu menghasilkan pemetaan Ozon Dunia setiap tiga hari. Satellite ini lebih baik daripada Nimbus 7 milik Amerika Serikat dan Meteor 3 milik Rusia.
Setelah sekian lama Rani mempengaruhi Ayahnya, akhirnya Ayahnya begitu tertarik pada penjelasan Rani yang dapat meluluhkan Hatinya, mereka berbuat sepakat melakukan penyelamatan Bumi secepatnya. Ayah bersedia memasang alat penyaring asap dan limbah dipabriknya, sedangkan Rani bersedia mengkampanyekan kepada teman-temannya untuk tidak menggunakan Parfum. Begitulah usaha Rani yang sangat bersungguh-sungguh menyelamatkan Bumi dari kerusakan seperti yang diramalkan oleh para pakar.
Disuatu daerah yaitu di Kabupaten Mataram, Provinsi NTB hiduplah sebuah keluarga kecil yng terdiri dari seorang anak perempuan bernama Rani, ayah yang sangat penyayang bernama Pak Lukito, dan seorang ibu yang begitu pengertian. Dengan kemampuan berbicaranya Rani berhasil membujuk ayahnya yang memiliki sebuah pabrik agar membuat abriknya ramah lingkungan untuk menyelamatkan bumi ini dari kiamat yang diperkirakan oleh para ahli sudah semakin dekat.
Disuatu pagi yang tenang Rani tersentak membaca berita disuatu surat kabar, yang kemudian membuatnya teringat pada suatu tanggal yang begitu penting yaitu tanggal 22 April yang diperingati sebagai Hari Bumi, hati Rani semakin terusik ketika tidak ada satupun temannya yang mengetahui moment penyelamatan lingkungan hidup tersebut.
Namun Seorang gurunya yang bernaa Pak Saleh, sang guru Bahasa Indonesia ternyata sangat peduli terhadap keselamatan bumi kita. Melalui pesan-pesan yang beliau sisipkan pada mata palajarannya, beliau mencoba mengajak siswa agar peduli terhadap Lingkungan Hidup, beliau mencontohkan adanya perhatian serius dari Negara Maju seperti diluncurkannya Satellite ERS-2 milik Badan Antariksa Eropa(ESA) yang dikhususkan untuk pemantauan Lapisan Ozon
Pak Saleh kemudian menceritakan adanya himbauan dari Herman Joseph Hack, pada saat berlangsungnya Konferensi Iklim Dunia di Berlin Jerman pada tanggal 28 Maret- 7 April 1995 untuk mematikan lampu sejenak secara serentak pada hari Rabu, 15 April 1995 pukul 18.50 GMT(01.50 WIB). Himbauan ini tentunya amat beralasan karena lampu dapat menambah Kadar 〖CO〗_2 di atmosfer Bumi yang tentunya berdampak buruk bagi Manusia.
Buktinya, banjir telah terjadi dimana-mana termasuk di Eropa, bahkan Belanda dan Perancis tidak berdaya menghadapi banjir besar ini sungai Rhein di Inggris yang telah beberapa decade silam tidak pernah meluap kini harus meluap dan merendam kota-kota di Inggris. Penyebab banjir ini tidak lain dan tidak bukan adalah segala kegiatan Manusia yang menggunakan energy Fossil yang digunakan untuk keperluan rumah tangga, kendaraan dan Industri.
Rani benar-benar peduli lingkungan hidup, setelah mendengarkan pemaparan gurunya ditambah dengan semangatnya yang besar untuk menyelamaykan lingkungan hidup, Rani menceritakan kepada Ayahnya pendapat dari para ilmuan yang menggambarkan bagaimana akan terjadi peningkatan suhu dimuka Bumi dalam tahun 2050, 2090 atau 2175 dengan angka mencapai kisaran 3°C atau 6°C. Rani juga menggambarkan bagaimana perubahan iklim juga sangat mempenagaruhi penurunan ekonomi dunia yaitu pada kisaran 3,6%, 6,1%, atau 10,4%.
Setelah Rani bercerita sang Ayah pun tertarik ikut berbicara, Beliau mengatakan akibat perubahan iklim adalah pengurangan factor prodduksi dan pencairan es yang sangat berdampak buruk bagi umat Manusia. Namun, terjadi pebedaan perkiraan antara para pakar Sosial dengan pakar Ilmu Alam dimana pakar ilmu social memperhitungkan pengaruh perubahan iklim terhadap kehidupan umat Manusia hanya 0,4% sedangkan para ahli Ilmu Alam memperkirakan hingga 12,3%, namun Rani dan Ayahnya sepakat dengan pendapat para pakar Ilmu Alam, karena masalah perubahan iklim tidak dapat diselesaikan dengan cepat dan hanya menggunakan optimisme Manusia.
Dampak perubahan iklim juga merembet pada munculnya penyakit-penyakit seperti Malaria dan Demam Berdarah Dengue, karena suhu Bumi cocok untuk perkembangbiakan nyamuk penyebab penyaki Malaria dan Demam Berdarah ditambah dengan banyaknya genangan air akibat hujan terus-menerus. Penyakit ini sangatlah berbahaya bagaimana seseorang yang terkena satu virus Dengue masih bisa terkena Virus Dengue yang lain, karena ada empat yaitu Virus Dengue 1, Virus Dengue 2, Virus Dengue 3, dan Virus Dengue 4
Semangat Rani terus bekobar untuk menyelamatkan Bumi tercinta, hal ini membuat Rani begitu rajin mengais Ilmu Pengetahuan meskipun hanya dari guntingan Koran, dia membaca dan mengetahui telah terjadi kerusakan Alam diseluruh belahan Bumi penyebabnya antara lain adalah gas rumah kaca dan beberapa gas lain seperti gas Sulfate yang telah ada sejak masa revolusi industri.
Hati Rani semakin gamang, ketika mengetahui adanya fenomena kebakaran hutan hingga jutaan hektar di seluruh belahan Dunia karena adanya Badai El-Nino. Selain itu banjir bandang akibat La-Nina yang terjadi di semua benua menyebabkan banyak manusisa meninggal dan terkena wabah penyakit apalagi kerugian akibat El-Nino tidaklah sedikit, jika diakumulasikan mencapai nilai 17,010 Triliun Rupiah(Republika, Minggu, 2 Juni 1955, hlm.11)
Polusi Lingkungan semakin parah, bagaimana hujan asam terjadi dimana-mana, Indeks mutu udara yang semakin menurun di Meksiko, Jakarta, dan kota-kota besar lain di Dunia, akibat El-Nino yang menyebabkan kebakaran hutan dimana-mana. Polusi bukan hanya polusi udara namun juga polusi suara berupa kebisingan yang lebih dari ambang batas yang dapat di tolerir yaitu lebih dari 70dB yang sangat berbahaya baik secar fisik maupun psikis, diperparah lagi dengan penggunaan AC di gedung-gedung pencakar langit.
Rani terus berusaha mengikis polusi udara untuk menyelamatkan lingkungan terutama oleh pabrik milik Ayahnya, Rani membujuk Ayahnya agar bersedia memasang alat penyaring asap pabrik agar tidak berbahaya.
Rani mendapat pelajaran berharga dari Ayahnya ketika dia memakai parfum yang menurut para ahli akan merusak lapisan Ozon karena mengandung CFC yang dapat menjebol selimut Ozon hingga 15 kilometer. Rani merasa begitu malu ketika sampai diingatkan Ayahnya karena sama sekali tidak mengetahui tentang hal tersebut. Namun ada hal yang membahagiakan hati Rani yaitu adanya satelit pemantau Ozon yaitu ERS-2 yang diharapkan mampu menghasilkan pemetaan Ozon Dunia setiap tiga hari. Satellite ini lebih baik daripada Nimbus 7 milik Amerika Serikat dan Meteor 3 milik Rusia.
Setelah sekian lama Rani mempengaruhi Ayahnya, akhirnya Ayahnya begitu tertarik pada penjelasan Rani yang dapat meluluhkan Hatinya, mereka berbuat sepakat melakukan penyelamatan Bumi secepatnya. Ayah bersedia memasang alat penyaring asap dan limbah dipabriknya, sedangkan Rani bersedia mengkampanyekan kepada teman-temannya untuk tidak menggunakan Parfum. Begitulah usaha Rani yang sangat bersungguh-sungguh menyelamatkan Bumi dari kerusakan seperti yang diramalkan oleh para pakar.
Minggu, 08 November 2009
HIKAYAT BAYAN BUDIMAN
HIKAYAT BAYAN
Khoja Mubarak seorang saudagar kaya di negeri yang bernama Ajam. Beliau mempunyai seorang anak yang bernama Khoja Maimun. Apabila cukup umurnya, Khoja Maimun telah dikahwinkan dengan Bibi Zainab.
Oleh kerana hampir kehabisan harta, Khoja Maimun bercadang untuk pergi belayar dan berniaga. Sebelum belayar, Khoja Maimun telah membeli dua ekor burung sebagai peneman isterinya sepeninggalan beliau pergi belayar. Seekor burung bayan dan seekor burung tiung. Apabila sampai masa hendak pergi belayar, Khoja Maimun berpesan kepada isterinya supaya sentiasa bermuafakat dengan burung-burung itu sebelum melakukan sesuatu perkara.
Sepeninggalan Khoja Maimun, Bibi Zainab yang tinggal sendiri berasa kesunyian. Semasa duduk termenung di tingkap, seorang putera raja lalu dihadapan rumahnya. Kedua-duanya saling berpandangan dan berbalas senyum.
Sejak hari itu Bibi Zainab telah jatuh berahi terhadap putera raja itu. Putera Raja itu juga telah jatuh cinta pada Bibi Zainab. Dengan perantaraan seorang perempuan tua, pertemuan antara mereka berdua telah dapat di atur.
Sebelum meninggalkan rumahnya, Bibi Zainab telah menyatakan hasratnya kepada burung tiung betina yang diharapnya akan lebih memahami perasaannya. Maka jawab tiung;
“ya, tuan yang kecil molek, siti yang baik rupa, pekerjaan apakah yang tuan hamba hendak kerjakan ini? Tiadakah tuan takut akan Allah subhanahu wataala dan tiadakah tuan malu akan Nabi Muhammad, maka tuan hendak mengerjakan maksiat lagi dilarangkan Allah Taala dan ditegahkan Rasulullah s.a.w. Istimewanya pula sangat kejahatan, dan tiada wajib atas segala perempuan membuat pekerjaan demikian itu. Tiadakah tuan mendengar di dalam al-Quran dan kitab hadis Nabi, maka barangsiapa perempuan yang menduakan suaminya, bahawa sesungguhnya disulakan oleh malaikat di dalam neraka jahanam seribu tahun lamanya…”
Teguran burung tiung betina itu membuatkan Bibi zainab marah lalu dihempaskan burung itu ke bumi. Matilah burung itu.
Bibi Zainab setertusnya meminta nasihat daripada burung bayan pula sambil mencurahkan hasrat hatinya itu. Setelah mendengar semuanya, burung bayan pun berkata;
“Adapun hamba ini haraplah tuan, jikalau jahat sekalipun pekerjaan tuan, insyaAllah di atas kepala hambalah menanggungnya, jika datang suami tuan pun, tiada mengapa, daripada hamba inipun hendak membuat bakti kepada tuan dan berbuat muka pada suami tuan itu. Baiklah tuan segera pergi, kalau-kalau lamalah anak raja itu menantikan tuan, kerana ia hendak bertemu dengan tuan. apatah dicari oleh segala manusia di dalam dunia ini, melainkan martabat, kebesaran dan kekayaan?Adakah yang lebih daripada martabat anakj raja? tetapi dengan ikhtiar juga sempurnalah adanya. Adapun akan hamba tuan ini adalah seperti hikayat seekor unggas bayn yang dicabut bulunya oleh seorang isteri saudagar….“
Burung Bayan tidak melarang malah dia menyuruh Bibi Zainab meneruskan rancangannya itu, tetapi dia berjaya menarik perhatian serta melalaikan Bibi Zainab dengan cerita-ceritanya. Bibi Zainab terpaksa menangguh dari satu malam ke satu malam pertemuannya dengan putera raja. begitulah seterunya sehingga Khoja Maimun pulang dari pelayarannya.
Bayan yang bijak bukan sahaja dapat menyelamatkan nyawanya tetapi juga dapat menyekat isteri tuannya daripada menjadi isteri yang curang. Dia juga dapat menjaga nama baik tuannya serta menyelamatkan rumahtangga tuannya.
Antara ceriota bayan itu ialah mengenai seekor bayan yang mempunyai tiga ekor anak yang masih kecil. Ibu bayan itu menasihatkan anak-anaknya supaya jangan berkawan dengan anak cerpelai yang tinggal berhampiran. Ibu bayan telah bercerita kepada anak-anaknya tentang seekor anak kera yang bersahabat dengan seorang anak saudagar. Pada suatu hari mereka berselisih faham. Anak saudagar mendapat luka di tangannya. Luka tersebut tidak sembuh melainkan diubati dengan hati kera. Maka saudagar itupun menangkap dan membunuh anak kera itu untuk mengubati anaknya.
Sebuah lagi cerita bayan ialah mengenai seorang lelaki yang sangat mengasihi isterinya. Apbila isterinya meninggal dunia, dia telahj memohon dioa kepada Tuhan supaya separuh daripada umurnya dibahagikan kepada isterinya. Doa itu dikabulkan dan isterinya hidup semual. Namun, si isteri tidak jujur dan lari dengan seorang saudagar kaya. Lelaki itu menjejaki isterinya kerana menyangka isterinya dilarikan oleh saudagar kaya itu. Tetapi dia telah dihina dan diusir oleh isterinya. Kerana marah dan kecewa, lelaki itu memohon agar Tuhan mengembalikan usianya yang telah diberi kepada isterinya. Dengan kehendak Tuhan, isterinya mati semula.
Dalam cerita yang lain pula, bayan bercerita mengenai pengorbanan seorang isteri. seorang puteri raja yang kejam telah membunuh 39 orang suaminya. suaminya yang keempat puluh telah berjaya menginsafkannya dengan sebuah cerita mengenai seekor rusa betina yang sanggup menggantikan pasangannya, rusa jantan, untuk disembelih. Begitu kasih rusa betina kepada pasangannya sehingga sanggip mengorbankan diri untuk disembelih. Puteri itu insaf dan tidak jadi membunuh suaminya yang keempat puluh itu, malah sanggup berkorban apa sahaja untuk suaminya.
Sumber : Sari Sastera Lama untuk STPM, Zainuddin Saad
Analisis :
A. Tokoh dan Penokohan :
1.Khoja Maimun : Gigih, dalam mencari nafkah
2.Bibi Zainab : Tidak setia
3.Putra Raja : Tidak sopan
4.Tiung Betina : Tiak pandai memberi nasehat
5.Bayan : Supel dan mampu mempengaruhi Orang
B. Amanah :
1.Sebagai seorang istri hendaknya berlaku setia kepada suaminya dimanapun suaminya berada.
2.Ketika hendak melakukan sesuatu hendaknya bermusyawarah dengan orang didekatnya yang dianggap mampu.
3.Ketika memberi nasehat hendaknya disampaikan dengan hikmah dan bijaksana sehingga orang yang dinasehati dapat menangkap maksud kita.
4.Kita tidak boleh memndang sesuatu dari tampilan luarnya saja.
Khoja Mubarak seorang saudagar kaya di negeri yang bernama Ajam. Beliau mempunyai seorang anak yang bernama Khoja Maimun. Apabila cukup umurnya, Khoja Maimun telah dikahwinkan dengan Bibi Zainab.
Oleh kerana hampir kehabisan harta, Khoja Maimun bercadang untuk pergi belayar dan berniaga. Sebelum belayar, Khoja Maimun telah membeli dua ekor burung sebagai peneman isterinya sepeninggalan beliau pergi belayar. Seekor burung bayan dan seekor burung tiung. Apabila sampai masa hendak pergi belayar, Khoja Maimun berpesan kepada isterinya supaya sentiasa bermuafakat dengan burung-burung itu sebelum melakukan sesuatu perkara.
Sepeninggalan Khoja Maimun, Bibi Zainab yang tinggal sendiri berasa kesunyian. Semasa duduk termenung di tingkap, seorang putera raja lalu dihadapan rumahnya. Kedua-duanya saling berpandangan dan berbalas senyum.
Sejak hari itu Bibi Zainab telah jatuh berahi terhadap putera raja itu. Putera Raja itu juga telah jatuh cinta pada Bibi Zainab. Dengan perantaraan seorang perempuan tua, pertemuan antara mereka berdua telah dapat di atur.
Sebelum meninggalkan rumahnya, Bibi Zainab telah menyatakan hasratnya kepada burung tiung betina yang diharapnya akan lebih memahami perasaannya. Maka jawab tiung;
“ya, tuan yang kecil molek, siti yang baik rupa, pekerjaan apakah yang tuan hamba hendak kerjakan ini? Tiadakah tuan takut akan Allah subhanahu wataala dan tiadakah tuan malu akan Nabi Muhammad, maka tuan hendak mengerjakan maksiat lagi dilarangkan Allah Taala dan ditegahkan Rasulullah s.a.w. Istimewanya pula sangat kejahatan, dan tiada wajib atas segala perempuan membuat pekerjaan demikian itu. Tiadakah tuan mendengar di dalam al-Quran dan kitab hadis Nabi, maka barangsiapa perempuan yang menduakan suaminya, bahawa sesungguhnya disulakan oleh malaikat di dalam neraka jahanam seribu tahun lamanya…”
Teguran burung tiung betina itu membuatkan Bibi zainab marah lalu dihempaskan burung itu ke bumi. Matilah burung itu.
Bibi Zainab setertusnya meminta nasihat daripada burung bayan pula sambil mencurahkan hasrat hatinya itu. Setelah mendengar semuanya, burung bayan pun berkata;
“Adapun hamba ini haraplah tuan, jikalau jahat sekalipun pekerjaan tuan, insyaAllah di atas kepala hambalah menanggungnya, jika datang suami tuan pun, tiada mengapa, daripada hamba inipun hendak membuat bakti kepada tuan dan berbuat muka pada suami tuan itu. Baiklah tuan segera pergi, kalau-kalau lamalah anak raja itu menantikan tuan, kerana ia hendak bertemu dengan tuan. apatah dicari oleh segala manusia di dalam dunia ini, melainkan martabat, kebesaran dan kekayaan?Adakah yang lebih daripada martabat anakj raja? tetapi dengan ikhtiar juga sempurnalah adanya. Adapun akan hamba tuan ini adalah seperti hikayat seekor unggas bayn yang dicabut bulunya oleh seorang isteri saudagar….“
Burung Bayan tidak melarang malah dia menyuruh Bibi Zainab meneruskan rancangannya itu, tetapi dia berjaya menarik perhatian serta melalaikan Bibi Zainab dengan cerita-ceritanya. Bibi Zainab terpaksa menangguh dari satu malam ke satu malam pertemuannya dengan putera raja. begitulah seterunya sehingga Khoja Maimun pulang dari pelayarannya.
Bayan yang bijak bukan sahaja dapat menyelamatkan nyawanya tetapi juga dapat menyekat isteri tuannya daripada menjadi isteri yang curang. Dia juga dapat menjaga nama baik tuannya serta menyelamatkan rumahtangga tuannya.
Antara ceriota bayan itu ialah mengenai seekor bayan yang mempunyai tiga ekor anak yang masih kecil. Ibu bayan itu menasihatkan anak-anaknya supaya jangan berkawan dengan anak cerpelai yang tinggal berhampiran. Ibu bayan telah bercerita kepada anak-anaknya tentang seekor anak kera yang bersahabat dengan seorang anak saudagar. Pada suatu hari mereka berselisih faham. Anak saudagar mendapat luka di tangannya. Luka tersebut tidak sembuh melainkan diubati dengan hati kera. Maka saudagar itupun menangkap dan membunuh anak kera itu untuk mengubati anaknya.
Sebuah lagi cerita bayan ialah mengenai seorang lelaki yang sangat mengasihi isterinya. Apbila isterinya meninggal dunia, dia telahj memohon dioa kepada Tuhan supaya separuh daripada umurnya dibahagikan kepada isterinya. Doa itu dikabulkan dan isterinya hidup semual. Namun, si isteri tidak jujur dan lari dengan seorang saudagar kaya. Lelaki itu menjejaki isterinya kerana menyangka isterinya dilarikan oleh saudagar kaya itu. Tetapi dia telah dihina dan diusir oleh isterinya. Kerana marah dan kecewa, lelaki itu memohon agar Tuhan mengembalikan usianya yang telah diberi kepada isterinya. Dengan kehendak Tuhan, isterinya mati semula.
Dalam cerita yang lain pula, bayan bercerita mengenai pengorbanan seorang isteri. seorang puteri raja yang kejam telah membunuh 39 orang suaminya. suaminya yang keempat puluh telah berjaya menginsafkannya dengan sebuah cerita mengenai seekor rusa betina yang sanggup menggantikan pasangannya, rusa jantan, untuk disembelih. Begitu kasih rusa betina kepada pasangannya sehingga sanggip mengorbankan diri untuk disembelih. Puteri itu insaf dan tidak jadi membunuh suaminya yang keempat puluh itu, malah sanggup berkorban apa sahaja untuk suaminya.
Sumber : Sari Sastera Lama untuk STPM, Zainuddin Saad
Analisis :
A. Tokoh dan Penokohan :
1.Khoja Maimun : Gigih, dalam mencari nafkah
2.Bibi Zainab : Tidak setia
3.Putra Raja : Tidak sopan
4.Tiung Betina : Tiak pandai memberi nasehat
5.Bayan : Supel dan mampu mempengaruhi Orang
B. Amanah :
1.Sebagai seorang istri hendaknya berlaku setia kepada suaminya dimanapun suaminya berada.
2.Ketika hendak melakukan sesuatu hendaknya bermusyawarah dengan orang didekatnya yang dianggap mampu.
3.Ketika memberi nasehat hendaknya disampaikan dengan hikmah dan bijaksana sehingga orang yang dinasehati dapat menangkap maksud kita.
4.Kita tidak boleh memndang sesuatu dari tampilan luarnya saja.
Kamis, 05 November 2009
Fasal tentang Bid'ah (1)
23/02/2007
Dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari, istilah "bid’ah" ini disandingkan dengan istilah "sunnah". Seperti dikutip Hadratusy Syeikh, menurut Syaikh Zaruq dalam kitab ‘Uddatul Murid, kata bid’ah secara syara’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip dengan bagian ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW,” Barangsiapa memunculkan perkara baru dalam urusan kami (agama) yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka perkara tersebut tertolak”. Nabi juga bersabda,”Setiap perkara baru adalah bid’ah”.
Menurut para ulama’, kedua hadits ini tidak berarti bahwa semua perkara yang baru dalam urusan agama tergolong bidah, karena mungkin saja ada perkara baru dalam urusan agama, namun masih sesuai dengan ruh syari’ah atau salah satu cabangnya (furu’).
Bid’ah dalam arti lainnya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada sebelumnya, sebagaimana firman Allah S.W.T.:
بَدِيْعُ السَّموتِ وَاْلاَرْضِ
“Allah yang menciptakan langit dan bumi”. (Al-Baqarah 2: 117).
Adapun bid’ah dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Timbul suatu pertanyaan, Apakah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. pasti jeleknya? Jawaban yang benar, belum tentu! Ada dua kemungkinan; mungkin jelek dan mungkin baik. Kapan bid’ah itu baik dan kapan bid’ah itu jelek? Menurut Imam Syafi’i, sebagai berikut;
اَلْبِدْعَةُ ِبدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ
“Bid’ah ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah yang sesuai dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan dengan sunnah itulah yang tercela”.
Sayyidina Umar Ibnul Khattab, setelah mengadakan shalat Tarawih berjama’ah dengan dua puluh raka’at yang diimami oleh sahabat Ubai bin Ka’ab beliau berkata :
نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هذِهِ
“Sebagus bid’ah itu ialah ini”.
Bolehkah kita mengadakan Bid’ah? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita kembali kepada hadits Nabi SAW. yang menjelaskan adanya Bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah.
مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَاوَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِاَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا. القائى, ج: 5ص: 76.
“Barang siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun, dan barang siapa yang mengada-adakan suatu cara yang jelek maka ia akan mendapat dosa dan dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”.
Apakah yang dimaksud dengan segala bid’ah itu sesat dan segala kesesatan itu masuk neraka?
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka”.
Mari kita pahami menurut Ilmu Balaghah. Setiap benda pasti mempunyai sifat, tidak mungkin ada benda yang tidak bersifat, sifat itu bisa bertentangan seperti baik dan buruk, panjang dan pendek, gemuk dan kurus. Mustahil ada benda dalam satu waktu dan satu tempat mempunyai dua sifat yang bertentangan, kalau dikatakan benda itu baik mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan jelek; kalau dikatakan si A berdiri mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan duduk.
Mari kita kembali kepada hadits.
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk neraka”.
Bid’ah itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas; dalam Ilmu Balaghah dikatakan, حدف الصفة على الموصوف “membuang sifat dari benda yang bersifat”. Seandainya kita tulis sifat bid’ah maka terjadi dua kemungkinan: Kemungkinan pertama :
كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah yang baik sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”.
Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil. Maka yang bisa dipastikan kemungkinan yang kedua :
كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّاِر
“Semua bid’ah yang jelek itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk neraka”.
Jelek dan sesat paralel tidak bertentangan, hal ini terjadi pula dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya :
وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبَا (الكهف: 79)
“Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”. (Al-Kahfi : 79).
Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal jelek; karena yang jelek tidak akan diambil oleh raja. Maka lafadh كل سفينة sama dengan كل بد عة tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah kapal yang baik كل سفينة حسنة .
Selain itu, ada pendapat lain tentang bid’ah dari Syaikh Zaruq, seperti dikutip Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Menurutnya, ada tiga norma untuk menentukan, apakah perkara baru dalam urusan agama itu disebut bid’ah atau tidak: Pertama, jika perkara baru itu didukung oleh sebagian besar syari’at dan sumbernya, maka perkara tersebut bukan merupakan bid’ah, akan tetapi jika tidak didukung sama sekali dari segala sudut, maka perkara tersebut batil dan sesat.
Kedua, diukur dengan kaidah-kaidah yang digunakan para imam dan generasi salaf yang telah mempraktikkan ajaran sunnah. Jika perkara baru tersebut bertentangan dengan perbuatan para ulama, maka dikategorikan sebagai bid’ah. Jika para ulama masih berselisih pendapat mengenai mana yang dianggap ajaran ushul (inti) dan mana yang furu’ (cabang), maka harus dikembalikan pada ajaran ushul dan dalil yang mendukungnya.
Ketiga, setiap perbuatan ditakar dengan timbangan hukum. Adapun rincian hukum dalam syara’ ada enam, yakni wajib, sunah, haram, makruh, khilaful aula, dan mubah. Setiap hal yang termasuk dalam salah satu hukum itu, berarti bias diidentifikasi dengan status hukum tersebut. Tetapi, jika tidak demikian, maka hal itu bisa dianggap bid’ah.
Syeikh Zaruq membagi bid’ah dalam tiga macam; pertama, bid’ah Sharihah (yang jelas dan terang). Yaitu bid’ah yang dipastikan tidak memiliki dasar syar’i, seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya. Menjalankan bid’ah ini berarti mematikan tradisi dan menghancurkan kebenaran. Jenis bid’ah ini merupakan bid’ah paling jelek. Meski bid’ah ini memiliki seribu sandaran dari hukum-hukum asal ataupun furu’, tetapi tetap tidak ada pengaruhnya. Kedua, bid’ah idlafiyah (relasional), yakni bid’ah yang disandarkan pada suatu praktik tertentu. Seandainya-pun, praktik itu telah terbebas dari unsur bid’ah tersebut, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut digolongkan sebagai sunnah atau bukan bid’ah.
Ketiga, bid’ah khilafi (bid’ah yang diperselisihkan), yaitu bid’ah yang memiliki dua sandaran utama yang sama-sama kuat argumentasinya. Maksudnya, dari satu sandaran utama tersebut, bagi yang cenderung mengatakan itu termasuk sunnah, maka bukan bid’ah. Tetapi, bagi yang melihat dengan sandaran utama itu termasuk bid’ah, maka berarti tidak termasuk sunnah, seperti soal dzikir berjama’ah atau soal administrasi.
Hukum bid’ah menurut Ibnu Abd Salam, seperti dinukil Hadratusy Syeikh dalam kitab Risalah Ahlussunnah Waljama’ah, ada lima macam: pertama, bid’ah yang hukumnya wajib, yakni melaksanakan sesuatu yang tidak pernah dipraktekkan Rasulullah SAW, misalnya mempelajari ilmu Nahwu atau mengkaji kata-kata asing (garib) yang bisa membantu pada pemahaman syari’ah.
Kedua, bid’ah yang hukumnya haram, seperti aliran Qadariyah, Jabariyyah dan Mujassimah. Ketiga, bid’ah yang hukumnya sunnah, seperti membangun pemondokan, madrasah (sekolah), dan semua hal baik yang tidak pernah ada pada periode awal. Keempat, bid’ah yang hukumnya makruh, seperti menghiasi masjid secara berlebihan atau menyobek-nyobek mushaf. Kelima, bid’ah yang hukumnya mubah, seperti berjabat tangan seusai shalat Shubuh maupun Ashar, menggunakan tempat makan dan minum yang berukuran lebar, menggunakan ukuran baju yang longgar, dan hal yang serupa.
Dengan penjelasan bid’ah seperti di atas, Hadratusy Syeikh kemudian menyatakan, bahwa memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan untuk mayyit dengan syarat tidak ada sesuatu yang menghalanginya, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid’ah yang sesat. Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main dadu dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak baik.
--(KH. A.N. Nuril Huda, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU)
23/02/2007
Dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari, istilah "bid’ah" ini disandingkan dengan istilah "sunnah". Seperti dikutip Hadratusy Syeikh, menurut Syaikh Zaruq dalam kitab ‘Uddatul Murid, kata bid’ah secara syara’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip dengan bagian ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW,” Barangsiapa memunculkan perkara baru dalam urusan kami (agama) yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka perkara tersebut tertolak”. Nabi juga bersabda,”Setiap perkara baru adalah bid’ah”.
Menurut para ulama’, kedua hadits ini tidak berarti bahwa semua perkara yang baru dalam urusan agama tergolong bidah, karena mungkin saja ada perkara baru dalam urusan agama, namun masih sesuai dengan ruh syari’ah atau salah satu cabangnya (furu’).
Bid’ah dalam arti lainnya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada sebelumnya, sebagaimana firman Allah S.W.T.:
بَدِيْعُ السَّموتِ وَاْلاَرْضِ
“Allah yang menciptakan langit dan bumi”. (Al-Baqarah 2: 117).
Adapun bid’ah dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Timbul suatu pertanyaan, Apakah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. pasti jeleknya? Jawaban yang benar, belum tentu! Ada dua kemungkinan; mungkin jelek dan mungkin baik. Kapan bid’ah itu baik dan kapan bid’ah itu jelek? Menurut Imam Syafi’i, sebagai berikut;
اَلْبِدْعَةُ ِبدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ
“Bid’ah ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah yang sesuai dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan dengan sunnah itulah yang tercela”.
Sayyidina Umar Ibnul Khattab, setelah mengadakan shalat Tarawih berjama’ah dengan dua puluh raka’at yang diimami oleh sahabat Ubai bin Ka’ab beliau berkata :
نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هذِهِ
“Sebagus bid’ah itu ialah ini”.
Bolehkah kita mengadakan Bid’ah? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita kembali kepada hadits Nabi SAW. yang menjelaskan adanya Bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah.
مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَاوَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِاَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا. القائى, ج: 5ص: 76.
“Barang siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun, dan barang siapa yang mengada-adakan suatu cara yang jelek maka ia akan mendapat dosa dan dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”.
Apakah yang dimaksud dengan segala bid’ah itu sesat dan segala kesesatan itu masuk neraka?
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka”.
Mari kita pahami menurut Ilmu Balaghah. Setiap benda pasti mempunyai sifat, tidak mungkin ada benda yang tidak bersifat, sifat itu bisa bertentangan seperti baik dan buruk, panjang dan pendek, gemuk dan kurus. Mustahil ada benda dalam satu waktu dan satu tempat mempunyai dua sifat yang bertentangan, kalau dikatakan benda itu baik mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan jelek; kalau dikatakan si A berdiri mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan duduk.
Mari kita kembali kepada hadits.
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk neraka”.
Bid’ah itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas; dalam Ilmu Balaghah dikatakan, حدف الصفة على الموصوف “membuang sifat dari benda yang bersifat”. Seandainya kita tulis sifat bid’ah maka terjadi dua kemungkinan: Kemungkinan pertama :
كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah yang baik sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”.
Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil. Maka yang bisa dipastikan kemungkinan yang kedua :
كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّاِر
“Semua bid’ah yang jelek itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk neraka”.
Jelek dan sesat paralel tidak bertentangan, hal ini terjadi pula dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya :
وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبَا (الكهف: 79)
“Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”. (Al-Kahfi : 79).
Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal jelek; karena yang jelek tidak akan diambil oleh raja. Maka lafadh كل سفينة sama dengan كل بد عة tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah kapal yang baik كل سفينة حسنة .
Selain itu, ada pendapat lain tentang bid’ah dari Syaikh Zaruq, seperti dikutip Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Menurutnya, ada tiga norma untuk menentukan, apakah perkara baru dalam urusan agama itu disebut bid’ah atau tidak: Pertama, jika perkara baru itu didukung oleh sebagian besar syari’at dan sumbernya, maka perkara tersebut bukan merupakan bid’ah, akan tetapi jika tidak didukung sama sekali dari segala sudut, maka perkara tersebut batil dan sesat.
Kedua, diukur dengan kaidah-kaidah yang digunakan para imam dan generasi salaf yang telah mempraktikkan ajaran sunnah. Jika perkara baru tersebut bertentangan dengan perbuatan para ulama, maka dikategorikan sebagai bid’ah. Jika para ulama masih berselisih pendapat mengenai mana yang dianggap ajaran ushul (inti) dan mana yang furu’ (cabang), maka harus dikembalikan pada ajaran ushul dan dalil yang mendukungnya.
Ketiga, setiap perbuatan ditakar dengan timbangan hukum. Adapun rincian hukum dalam syara’ ada enam, yakni wajib, sunah, haram, makruh, khilaful aula, dan mubah. Setiap hal yang termasuk dalam salah satu hukum itu, berarti bias diidentifikasi dengan status hukum tersebut. Tetapi, jika tidak demikian, maka hal itu bisa dianggap bid’ah.
Syeikh Zaruq membagi bid’ah dalam tiga macam; pertama, bid’ah Sharihah (yang jelas dan terang). Yaitu bid’ah yang dipastikan tidak memiliki dasar syar’i, seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya. Menjalankan bid’ah ini berarti mematikan tradisi dan menghancurkan kebenaran. Jenis bid’ah ini merupakan bid’ah paling jelek. Meski bid’ah ini memiliki seribu sandaran dari hukum-hukum asal ataupun furu’, tetapi tetap tidak ada pengaruhnya. Kedua, bid’ah idlafiyah (relasional), yakni bid’ah yang disandarkan pada suatu praktik tertentu. Seandainya-pun, praktik itu telah terbebas dari unsur bid’ah tersebut, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut digolongkan sebagai sunnah atau bukan bid’ah.
Ketiga, bid’ah khilafi (bid’ah yang diperselisihkan), yaitu bid’ah yang memiliki dua sandaran utama yang sama-sama kuat argumentasinya. Maksudnya, dari satu sandaran utama tersebut, bagi yang cenderung mengatakan itu termasuk sunnah, maka bukan bid’ah. Tetapi, bagi yang melihat dengan sandaran utama itu termasuk bid’ah, maka berarti tidak termasuk sunnah, seperti soal dzikir berjama’ah atau soal administrasi.
Hukum bid’ah menurut Ibnu Abd Salam, seperti dinukil Hadratusy Syeikh dalam kitab Risalah Ahlussunnah Waljama’ah, ada lima macam: pertama, bid’ah yang hukumnya wajib, yakni melaksanakan sesuatu yang tidak pernah dipraktekkan Rasulullah SAW, misalnya mempelajari ilmu Nahwu atau mengkaji kata-kata asing (garib) yang bisa membantu pada pemahaman syari’ah.
Kedua, bid’ah yang hukumnya haram, seperti aliran Qadariyah, Jabariyyah dan Mujassimah. Ketiga, bid’ah yang hukumnya sunnah, seperti membangun pemondokan, madrasah (sekolah), dan semua hal baik yang tidak pernah ada pada periode awal. Keempat, bid’ah yang hukumnya makruh, seperti menghiasi masjid secara berlebihan atau menyobek-nyobek mushaf. Kelima, bid’ah yang hukumnya mubah, seperti berjabat tangan seusai shalat Shubuh maupun Ashar, menggunakan tempat makan dan minum yang berukuran lebar, menggunakan ukuran baju yang longgar, dan hal yang serupa.
Dengan penjelasan bid’ah seperti di atas, Hadratusy Syeikh kemudian menyatakan, bahwa memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan untuk mayyit dengan syarat tidak ada sesuatu yang menghalanginya, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid’ah yang sesat. Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main dadu dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak baik.
--(KH. A.N. Nuril Huda, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU)
Rabu, 04 November 2009
MALIN KUNDANG !
Pada kesempatan berkabar terakhir dengan bundanya, sebelum perempuan tua ini berangkat menyusul ke kota, Malin Kundang mengingatkan dengan setengah bercanda, “Emak, apabila tekad Emak sudah bulat hendak menyusulku ke kota, siapakah yang nanti akan menyapa unggas di halaman, menghalau domba di pekarangan?” Emak pun hanya menukas kecil, “Malin, kerinduanku terhadap buah hati lebih dari semua itu. Aku ingin menjumpai orang yang telah aku timang-timang.” Emak tua telah bersikeras hendak pergi.
Kendati unggas nanti akan dengan sendirinya melupakan wajah tua itu, dan domba-domba berlarian hanya menjejak rumput hijau untuk dimakan, angin sepoi-sepoi berbisik. Seperti apakah pemandangan di kota? Apakah diriku akan hilang di tengah padang luas mereka, tersedot oleh gorong-gorong air sebesar pintu lumbung padi itu? Emak menatap ke empat penjuru mata angin dan sekilas dia melihat di satu sudut ufuk langit gemintang berkelip lebih terang. Ia tidak mengerti penampakan seperti itu: yang dipandanginya sebuah gugus melingkar seperti pusaran air. Dari luar seperti terseret ke arah dalam, membentuk lingkaran lagi yang lebih kecil.
Tanggal yang digurat-gurat di ujung antan sudah genap. Emak sudah pula menukar hasil dari kebun belakang dengan segenggam uang logam. Ia mendengar bahwa di kota mereka “makan dengan uang”, bukan “makan nasi.” Kupu-kupu dan lebah seperti melepas Emak pergi, sekalipun keduanya tetap sibuk menghisap madu bunga. Tidak ada yang perlu diusik dengan ritual flora dan fauna di halaman. Mereka mengerjakan itu semua seperti otomatis, dikendalikan oleh pikiran sehat dari Pembuatnya.
Seperti ditorehkan oleh para penulis legenda, seperti telah diterima tanpa pertanyaan oleh telinga bocah-bocah: Malin Kundang memperlakukan Emaknya dengan nista. Simpul tersebut secara singkat tanpa penjelasan apapun oleh para ninik-mamak yang melantangkan legenda ditandai dengan cap durhaka. Malin Kundang berlaku durhaka kepada Emaknya, dan kita semua sampai bermasa-masa selanjutnya masih berdiri tegak di belakang Emak.
Namun, apakah sebab dari kedurhakaan itu? Apakah karena Malin Kundang beroleh pangkat, bertimbun harta, berpijak pada kebanggaan sebagai orang yang terangkat martabatnya? Bagaimana seandainya dia ingin membuang sejarah? Siapa tahu pada dirinya terdapat perasaan malu atau rendah diri bahwa selama ini lingkungannya yang hanya seluas batok kelapa itu telah dianggap mengerdilkannya. Dan Emak adalah perlambang dunia lama itu yang kemudian muncul dan mengusik pada masa kekiniannya. Anak durhaka itu — demikian orang menyebut — tidak kuasa menampik Emak secara kenyataan substansial, namun pada perlawanannya menguasai perasaan rendah diri itu Malin Kundang harus mengusirnya. Barangkali ia sadar bahwa tinta sejarah akan menulisnya sebagai lancung, namun pikiran pendek dan kegeraman terhadap perulangan kondisi buruk yang disangkanya akan muncul, menguasai pertimbangan seperti itu. “Akulah Malin Kundang. Aku tidak terusik sedikitpun dengan caraku bertingkah laku seperti ini.”
Legenda memberikan izin yang sedemikian lapang kepada Emak untuk melakukan apapun. Pertama, memang surga di telapak kaki Emak; anak-anak diajari harus takzim kepada bunda yang rahimnya dijadikan persinggahan sebelum mereka memulai menanam ladang untuk diketam di akhirat kelak. Selain itu episode Emak dinistakan ini memang demikian hitam-putih: orang tua itu tidak bersalah apa-apa, dan Malin Kundang bergelimang kemewahan. Bagi sebagian pemapar kebijaksanaan, kemewahan adalah tanda awal penyelewengan.
Apakah tidak sepatutnya anak durhaka ini dikasihani? Karena ia terang-terangan melakukan perbuatan keji yang nantinya akan membawa dirinya pada kesulitan-kesulitan lain yang lebih jauh. Sebelum terlambat. Sebelum lebih akut. Dan siapa orang di muka bumi ini yang lebih mengerti seorang anak selain bundanya sendiri? Pikiran-pikiran seperti itu yang pertama muncul di dalam benak Emak. Ia memang gusar melihat perubahan perilaku anaknya. Ia kecewa. Ia marah karena seperti tidak dianggap.
Namun seperti bercermin terhadap dirinya, Emak menangkap bayang-bayang kesadaran. “Aku harus setimbang, karena ini bukan semata-mata miring ke arah kanan atau beralih ke kiri.” Ia berbicara dengan hatinya sendiri, yang seperti bertanya jawab satu dan banyak hal. “Emak, akulah Atijembar. Engkau lihat cahayaku berkelebat membentuk pusaran pada saat engkau hendak meninggalkan rumahmu. Akulah makhluk yang paling dekat denganmu, karena engkau dapat mendengarkan aku bahkan seandainyapun telingamu tuli dan engkau dapat berbicara denganku sekalipun mulutmu bungkam. Aku hanya tidak dapat dijangkau oleh mereka yang telah pekak dan bisu.” Tanpa dijelaskan maksud kehadirannya pun, Emak sudah mafhum.
“Aku sudah mengingatkannya, sudah mengajaknya untuk bertobat, apakah dengan demikian kutukanku menjadi keniscayaan? Akulah yang dengan izin-Nya telah melahirkan dirinya ke dunia, pantaskah apabila sekarang aku pula yang mengantarkan dirinya kepada kebinasaan? Bukankah seharusnya aku yang mencintai darah keturunanku lebih dari yang lainnya? Sebenarnya siapa aku ini yang sekarang sedemikian gusar sehingga berencana mengeluarkan kutukan? Apakah kebaikan yang menyertai, pembalasan terhadap kenistaan, atau hanya nafsu amarah yang menyala-nyala?”
Atijembar hanya bergumam lirih, “Emak, gunung pun akan meledak mendengar kutukan bunda. Awan menjadi pekat, langit mendung dan murung. Kehidupan terhenti oleh kutukan bunda — orang yang mengantar awal kehidupan. Apakah demikian yang menjadi dorongan hatimu?” Keluh kesah Emak, pertanyaan Atijembar, kesadaran dan kebimbangan, keraguan dan perasaan ingin berontak, semua berputar dari sebuah dorongan yang memang sebenarnya satu sumbernya. Alam semesta ini sedemikian luas tiada terkira, namun hati manusia yang membuka terhadap cahaya jauh lebih lapang lagi. Demikian pula, butir-butir pergulatan batin jauh lebih halus dari pikiran-pikiran manusia tentang ukuran superkecil. Seolah-olah alam semesta ini hendak bergerak atau diam, hati manusialah yang menjadi pusaran. Karena demikianlah kekuasaan Tuhan menitipkan sejumput cahaya-Nya bersemai di dalam hati.
Kisah kutukan Emak terhadap Malin Kundang itu yang menandai peristiwa sejarah berikutnya. Legenda-legenda yang disebut cerita rakyat atau hikayat dari masa lalu penuh dengan kejadian kutuk-mengutuk, amarah dan sumpah, serta keculasan yang dilakukan lakon-lakonnya. Sekalipun berdalih keselamatan dan kebahagiaan, kenapa yang ditularkan adalah kebohongan dan sikap satu berkuasa terhadap lainnya? Cerita Timun Emas dilakonkan oleh tokoh ibu yang mau menang sendiri beroleh keturunan dan kemudian mengenyahkan raksasa yang membantunya. Bawang Putih dan Bawang Merah dipenuhi oleh sikap tidak terpuji yang ditonjolkan oleh ibu tiri. Demikian juga legenda patung dan candi yang berakhir dengan diplomasi membokong dari belakang. Lakon-lakon tersebut digambarkan menang dengan cara yang penuh amarah atau tipu daya. Bukan karena kemampuan berunding dan nilai tawar yang sejajar.
“Inilah aku yang mencoba menguasai alam kesadaranku”, jerit Emak di dalam batin. Bukan seperti sekali membalik telapak tangan atau semudah merunut bacaan tentang kebaikan di dalam kesabaran. Karena Emak yang mengalami dan Malin Kundang adalah buah hatinya sendiri. Segumpal kesayangan yang telah ditimang dan dibesarkan di dada dan di pangkuan dirinya sendiri. Ia seperti bercermin dan melihat muka sendiri. “Jikalau aku mengutuknya karena kesalahan yang diperbuat saat ini, sedikit atau banyak, aku memiliki andil dalam menanam bibit kesalahan itu,” demikian bayangan di cermin itu senantiasa berpulang pada dirinya.
Perlawanan terhadap keakuan dirinya itulah yang paling berat dirasakan oleh Emak. Perlakuan buruk Malin Kundang seperti tidak berarti dibanding jeritan batinnya menyeimbangkan perasaan tegar terhadap keadaan pahit dan rasa cinta kepada anak kesayangannya. “Seandainya engkau orang lain, aku akan mengabaikan kejahatanmu. Sekiranya aku sudah berlepas dari keadaan cinta ini, maka petir berkilat-kilat menyambar dirimu dan aku pergi,” dengan susah payah perempuan tua itu meneguhkan sikapnya dan setengah berdoa. Sikap tenang yang diambil Emak sebenarnya penuh diisi pergulatan batin dan terkadang ia merasa bahwa mengurus kambing di kampung pun jauh lebih ringan dibanding mengendalikan pikiran. “Aku tidak mau hancur oleh rasa cintaku yang berlebih, seperti aku juga tidak berniat menghancurkan cinta itu sendiri”, itu pula yang ingin dijadikan tekadnya.
Dinding cinta itu pun masih sesekali diusik oleh pertanyaan lain yang setengah menggoda, “Benarkah engkau bersungguh-sungguh dengan tekadmu ini? Apakah bukan karena perolehan lain yang ingin engkau dapatkan kelak?” Emak adalah seorang bunda yang juga manusia biasa seperti lainnya. Ia bisa menjadi sedemikian optimis dengan keteguhan kasih sayangnya, namun dapat menjadi murung dengan kepayahan yang dialami. Ia berdiri tegar mengingat terpaan angin dan hujan tatkala membesarkan Malinkundang; namun ia juga seperti lumpuh menghadapi kepahitan yang menggantikan kenangannya pada padang rumput hijau. Seperti sedikit disesali anaknya dilepas pergi mengikuti saudagar itu beberapa tahun silam, namun ia mengembalikan lagi kepada keadaan bahwa penyesalan seperti itu hanya sebuah kerikil yang digilas roda raksasa waktu. Kadang Emak juga ingin menghilangkan jati dirinya sebagai bunda, agar semua perasaan manis atau pahit dapat lalu lalang melewati dirinya tanpa menimbulkan pengaruh apapun.
Pada suatu malam Emak berbisik kepada Atijembar, “Aku melucuti predikat bunda dari diriku, karena memang fungsi itu lumpuh saat ini dan aku lebih baik bebas menjadi manusia yang merdeka. Aku ingin menyaksikan hujan turun membasahi bumi bukan karena beranggapan hatiku yang lapang sudah berhasil menerima keadaan buruk. Aku juga ingin mendengar petir menggelegar tidak karena dikaitkan dengan kemarahanku yang membubung ke langit. Segala sesuatu seharusnya datang dari Yang Memberi Rahmat dan Yang Menurunkan Azab. Kita tidak sepantasnya menyanjung manusia lain dan tidak pada tempatnya menyakiti sesama. Biarlah malaikat-malaikat yang tanpa keinginan dan nafsu itu mengerjakan tugas mereka dengan paripurna.”
Batu mengeluarkan pancuran air yang konon adalah Malin Kundang menangisi penyesalannya terkena kutukan bunda, setelah lama berselang mulai dilupakan orang. Anak-anak yang mendengar hikayat itu setelah besar belajar ilmu alam dan semakin dapat memisahkan bagian yang disebut legenda dan realita. Para pengunjung tempat itu pun sesekali membicarakan perihal batu tersebut dibumbui legenda Malinkundang, namun sangat sedikit yang meletakkan hal itu sebagai keniscayaan peristiwa kasih sayang dan kedurhakaan.
Barangkali juga Malin Kundang tidak sehitam yang digambarkan para penutur yang ingin anak-anak pendengarnya beroleh pesan penghormatan kepada bundanya. Demikian juga pergulatan batin Emak di depan anaknya yang durhaka tentulah berisi kemuliaan seorang bunda dibanding sumpah kutukan perempuan yang menganggap dirinya berkuasa.
Kendati unggas nanti akan dengan sendirinya melupakan wajah tua itu, dan domba-domba berlarian hanya menjejak rumput hijau untuk dimakan, angin sepoi-sepoi berbisik. Seperti apakah pemandangan di kota? Apakah diriku akan hilang di tengah padang luas mereka, tersedot oleh gorong-gorong air sebesar pintu lumbung padi itu? Emak menatap ke empat penjuru mata angin dan sekilas dia melihat di satu sudut ufuk langit gemintang berkelip lebih terang. Ia tidak mengerti penampakan seperti itu: yang dipandanginya sebuah gugus melingkar seperti pusaran air. Dari luar seperti terseret ke arah dalam, membentuk lingkaran lagi yang lebih kecil.
Tanggal yang digurat-gurat di ujung antan sudah genap. Emak sudah pula menukar hasil dari kebun belakang dengan segenggam uang logam. Ia mendengar bahwa di kota mereka “makan dengan uang”, bukan “makan nasi.” Kupu-kupu dan lebah seperti melepas Emak pergi, sekalipun keduanya tetap sibuk menghisap madu bunga. Tidak ada yang perlu diusik dengan ritual flora dan fauna di halaman. Mereka mengerjakan itu semua seperti otomatis, dikendalikan oleh pikiran sehat dari Pembuatnya.
Seperti ditorehkan oleh para penulis legenda, seperti telah diterima tanpa pertanyaan oleh telinga bocah-bocah: Malin Kundang memperlakukan Emaknya dengan nista. Simpul tersebut secara singkat tanpa penjelasan apapun oleh para ninik-mamak yang melantangkan legenda ditandai dengan cap durhaka. Malin Kundang berlaku durhaka kepada Emaknya, dan kita semua sampai bermasa-masa selanjutnya masih berdiri tegak di belakang Emak.
Namun, apakah sebab dari kedurhakaan itu? Apakah karena Malin Kundang beroleh pangkat, bertimbun harta, berpijak pada kebanggaan sebagai orang yang terangkat martabatnya? Bagaimana seandainya dia ingin membuang sejarah? Siapa tahu pada dirinya terdapat perasaan malu atau rendah diri bahwa selama ini lingkungannya yang hanya seluas batok kelapa itu telah dianggap mengerdilkannya. Dan Emak adalah perlambang dunia lama itu yang kemudian muncul dan mengusik pada masa kekiniannya. Anak durhaka itu — demikian orang menyebut — tidak kuasa menampik Emak secara kenyataan substansial, namun pada perlawanannya menguasai perasaan rendah diri itu Malin Kundang harus mengusirnya. Barangkali ia sadar bahwa tinta sejarah akan menulisnya sebagai lancung, namun pikiran pendek dan kegeraman terhadap perulangan kondisi buruk yang disangkanya akan muncul, menguasai pertimbangan seperti itu. “Akulah Malin Kundang. Aku tidak terusik sedikitpun dengan caraku bertingkah laku seperti ini.”
Legenda memberikan izin yang sedemikian lapang kepada Emak untuk melakukan apapun. Pertama, memang surga di telapak kaki Emak; anak-anak diajari harus takzim kepada bunda yang rahimnya dijadikan persinggahan sebelum mereka memulai menanam ladang untuk diketam di akhirat kelak. Selain itu episode Emak dinistakan ini memang demikian hitam-putih: orang tua itu tidak bersalah apa-apa, dan Malin Kundang bergelimang kemewahan. Bagi sebagian pemapar kebijaksanaan, kemewahan adalah tanda awal penyelewengan.
Apakah tidak sepatutnya anak durhaka ini dikasihani? Karena ia terang-terangan melakukan perbuatan keji yang nantinya akan membawa dirinya pada kesulitan-kesulitan lain yang lebih jauh. Sebelum terlambat. Sebelum lebih akut. Dan siapa orang di muka bumi ini yang lebih mengerti seorang anak selain bundanya sendiri? Pikiran-pikiran seperti itu yang pertama muncul di dalam benak Emak. Ia memang gusar melihat perubahan perilaku anaknya. Ia kecewa. Ia marah karena seperti tidak dianggap.
Namun seperti bercermin terhadap dirinya, Emak menangkap bayang-bayang kesadaran. “Aku harus setimbang, karena ini bukan semata-mata miring ke arah kanan atau beralih ke kiri.” Ia berbicara dengan hatinya sendiri, yang seperti bertanya jawab satu dan banyak hal. “Emak, akulah Atijembar. Engkau lihat cahayaku berkelebat membentuk pusaran pada saat engkau hendak meninggalkan rumahmu. Akulah makhluk yang paling dekat denganmu, karena engkau dapat mendengarkan aku bahkan seandainyapun telingamu tuli dan engkau dapat berbicara denganku sekalipun mulutmu bungkam. Aku hanya tidak dapat dijangkau oleh mereka yang telah pekak dan bisu.” Tanpa dijelaskan maksud kehadirannya pun, Emak sudah mafhum.
“Aku sudah mengingatkannya, sudah mengajaknya untuk bertobat, apakah dengan demikian kutukanku menjadi keniscayaan? Akulah yang dengan izin-Nya telah melahirkan dirinya ke dunia, pantaskah apabila sekarang aku pula yang mengantarkan dirinya kepada kebinasaan? Bukankah seharusnya aku yang mencintai darah keturunanku lebih dari yang lainnya? Sebenarnya siapa aku ini yang sekarang sedemikian gusar sehingga berencana mengeluarkan kutukan? Apakah kebaikan yang menyertai, pembalasan terhadap kenistaan, atau hanya nafsu amarah yang menyala-nyala?”
Atijembar hanya bergumam lirih, “Emak, gunung pun akan meledak mendengar kutukan bunda. Awan menjadi pekat, langit mendung dan murung. Kehidupan terhenti oleh kutukan bunda — orang yang mengantar awal kehidupan. Apakah demikian yang menjadi dorongan hatimu?” Keluh kesah Emak, pertanyaan Atijembar, kesadaran dan kebimbangan, keraguan dan perasaan ingin berontak, semua berputar dari sebuah dorongan yang memang sebenarnya satu sumbernya. Alam semesta ini sedemikian luas tiada terkira, namun hati manusia yang membuka terhadap cahaya jauh lebih lapang lagi. Demikian pula, butir-butir pergulatan batin jauh lebih halus dari pikiran-pikiran manusia tentang ukuran superkecil. Seolah-olah alam semesta ini hendak bergerak atau diam, hati manusialah yang menjadi pusaran. Karena demikianlah kekuasaan Tuhan menitipkan sejumput cahaya-Nya bersemai di dalam hati.
Kisah kutukan Emak terhadap Malin Kundang itu yang menandai peristiwa sejarah berikutnya. Legenda-legenda yang disebut cerita rakyat atau hikayat dari masa lalu penuh dengan kejadian kutuk-mengutuk, amarah dan sumpah, serta keculasan yang dilakukan lakon-lakonnya. Sekalipun berdalih keselamatan dan kebahagiaan, kenapa yang ditularkan adalah kebohongan dan sikap satu berkuasa terhadap lainnya? Cerita Timun Emas dilakonkan oleh tokoh ibu yang mau menang sendiri beroleh keturunan dan kemudian mengenyahkan raksasa yang membantunya. Bawang Putih dan Bawang Merah dipenuhi oleh sikap tidak terpuji yang ditonjolkan oleh ibu tiri. Demikian juga legenda patung dan candi yang berakhir dengan diplomasi membokong dari belakang. Lakon-lakon tersebut digambarkan menang dengan cara yang penuh amarah atau tipu daya. Bukan karena kemampuan berunding dan nilai tawar yang sejajar.
“Inilah aku yang mencoba menguasai alam kesadaranku”, jerit Emak di dalam batin. Bukan seperti sekali membalik telapak tangan atau semudah merunut bacaan tentang kebaikan di dalam kesabaran. Karena Emak yang mengalami dan Malin Kundang adalah buah hatinya sendiri. Segumpal kesayangan yang telah ditimang dan dibesarkan di dada dan di pangkuan dirinya sendiri. Ia seperti bercermin dan melihat muka sendiri. “Jikalau aku mengutuknya karena kesalahan yang diperbuat saat ini, sedikit atau banyak, aku memiliki andil dalam menanam bibit kesalahan itu,” demikian bayangan di cermin itu senantiasa berpulang pada dirinya.
Perlawanan terhadap keakuan dirinya itulah yang paling berat dirasakan oleh Emak. Perlakuan buruk Malin Kundang seperti tidak berarti dibanding jeritan batinnya menyeimbangkan perasaan tegar terhadap keadaan pahit dan rasa cinta kepada anak kesayangannya. “Seandainya engkau orang lain, aku akan mengabaikan kejahatanmu. Sekiranya aku sudah berlepas dari keadaan cinta ini, maka petir berkilat-kilat menyambar dirimu dan aku pergi,” dengan susah payah perempuan tua itu meneguhkan sikapnya dan setengah berdoa. Sikap tenang yang diambil Emak sebenarnya penuh diisi pergulatan batin dan terkadang ia merasa bahwa mengurus kambing di kampung pun jauh lebih ringan dibanding mengendalikan pikiran. “Aku tidak mau hancur oleh rasa cintaku yang berlebih, seperti aku juga tidak berniat menghancurkan cinta itu sendiri”, itu pula yang ingin dijadikan tekadnya.
Dinding cinta itu pun masih sesekali diusik oleh pertanyaan lain yang setengah menggoda, “Benarkah engkau bersungguh-sungguh dengan tekadmu ini? Apakah bukan karena perolehan lain yang ingin engkau dapatkan kelak?” Emak adalah seorang bunda yang juga manusia biasa seperti lainnya. Ia bisa menjadi sedemikian optimis dengan keteguhan kasih sayangnya, namun dapat menjadi murung dengan kepayahan yang dialami. Ia berdiri tegar mengingat terpaan angin dan hujan tatkala membesarkan Malinkundang; namun ia juga seperti lumpuh menghadapi kepahitan yang menggantikan kenangannya pada padang rumput hijau. Seperti sedikit disesali anaknya dilepas pergi mengikuti saudagar itu beberapa tahun silam, namun ia mengembalikan lagi kepada keadaan bahwa penyesalan seperti itu hanya sebuah kerikil yang digilas roda raksasa waktu. Kadang Emak juga ingin menghilangkan jati dirinya sebagai bunda, agar semua perasaan manis atau pahit dapat lalu lalang melewati dirinya tanpa menimbulkan pengaruh apapun.
Pada suatu malam Emak berbisik kepada Atijembar, “Aku melucuti predikat bunda dari diriku, karena memang fungsi itu lumpuh saat ini dan aku lebih baik bebas menjadi manusia yang merdeka. Aku ingin menyaksikan hujan turun membasahi bumi bukan karena beranggapan hatiku yang lapang sudah berhasil menerima keadaan buruk. Aku juga ingin mendengar petir menggelegar tidak karena dikaitkan dengan kemarahanku yang membubung ke langit. Segala sesuatu seharusnya datang dari Yang Memberi Rahmat dan Yang Menurunkan Azab. Kita tidak sepantasnya menyanjung manusia lain dan tidak pada tempatnya menyakiti sesama. Biarlah malaikat-malaikat yang tanpa keinginan dan nafsu itu mengerjakan tugas mereka dengan paripurna.”
Batu mengeluarkan pancuran air yang konon adalah Malin Kundang menangisi penyesalannya terkena kutukan bunda, setelah lama berselang mulai dilupakan orang. Anak-anak yang mendengar hikayat itu setelah besar belajar ilmu alam dan semakin dapat memisahkan bagian yang disebut legenda dan realita. Para pengunjung tempat itu pun sesekali membicarakan perihal batu tersebut dibumbui legenda Malinkundang, namun sangat sedikit yang meletakkan hal itu sebagai keniscayaan peristiwa kasih sayang dan kedurhakaan.
Barangkali juga Malin Kundang tidak sehitam yang digambarkan para penutur yang ingin anak-anak pendengarnya beroleh pesan penghormatan kepada bundanya. Demikian juga pergulatan batin Emak di depan anaknya yang durhaka tentulah berisi kemuliaan seorang bunda dibanding sumpah kutukan perempuan yang menganggap dirinya berkuasa.
Langganan:
Postingan (Atom)